top of page
Gambar penulisGoldenQQ

LEGENDA: Roberto Baggio: Cinta Setengah Hati untuk Juventus

Diperbarui: 12 Okt 2019




GoldenQQ – Pindah ke klub rival menjadi suatu yang lumrah terjadi di sepak bola Italia. Sudah tak terhitung banyaknya pemain yang dicap sebagai pengkhianat oleh fan di sana. Salah satu pemain yang kerap gonta-ganti klub di Italia adalah sang legenda, Roberto Baggio.


Roberto Baggio layaknya pemain Italia kebanyakan yang tidak sungkan membelot ke klub rival dalam 22 tahun karier panjangnya. Mari sejenak kita lupakan klub-klub semenjana yang dia perkuat seperti Vicenza, Brescia, dan Bologna. Di luar tiga klub itu dia pernah bikin geger Serie A karena pernah membela Fiorentina, Juventus, Inter Milan, serta AC Milan.


Di dua klub pertama itulah Baggio mendobrak tradisi permusuhan kental Fiorentina dan Juventus. Ya, dua klub beda kota ini terkenal punya permusuhan mendarah daging antarpendukung. Bahkan, bisa dikatakan jika rivalitas mereka paling panas kedua setelah AS Roma dan Lazio.


Permusuhan Fiorentina dan Juventus bermula pada medio 80-an. Tepatnya pada 1982 pendukung klub berjuluk La Viola itu merasa Juventus adalah perampok Scudetto mereka pada tahun tersebut. Bagaimana tidak, pada pekan terakhir Serie A saat itu, gol Fiorentina saat melawan Cagliari dianulir wasit.


Alhasil, Fiorentina hanya bermain imbang 0-0 melawan Cagliari. Mimpi meraih Scudetto ketiga pun sirna karena di tempat berbeda Juventus menang 1-0 atas Catanzaro melalui penalti Liam Brady. Amarah Viola, sebutan fan Fiorentina, pada Juve mencapai puncaknya pada final Piala UEFA tujuh tahun kemudian.


La Viola dipaksa takluk pada leg pertama yang berlangsung di Turin dengan skor 1-3.  Walau begitu mereka masih memiliki keyakinan memenangkan gelar di leg kedua yang seharusnya di gelar di markas mereka, Stadion Artemio Franchi.


Akan tetapi, federasi sepak bola Italia, FIGC, justru melarang pertandingan berlangsung di Firenze. Mereka justru memilih kota Avelino, yang notabene banyak dihuni fan Juventus, sebagai tempat dilangsungkannya leg kedua. Tak ayal pertandingan tersebut berakhir imbang tanpa gol dan sekaligus mengukuhkan Juve sebagai juara.


Berbekal dua cerita di atas, tak heran rasanya jika fan Fiorentina memandang Juventus tak lebih dari sekadar pencuri. Hingga saat ini pun, mereka masih membanggakan satu ungkapan terkenal “Lebih baik menjadi yang kedua dari pada menjadi pencuri”.


Rivalitas klub asal Firenze dan Turin ini semakin menjadi-jadi ketika Juventus menggaet Roberto Baggio, yang ketika itu menjadi harapan baru Fiorentina. Akan tetapi, kali ini para Viola patut jemawa ketimbang Juventini.



Baggio pindah ke Juventus, tetapi tetap dicintai Fiorentina


Tahun 1989 menjadi tahun terakhir Baggio berseragam Fiorentina. Setelah menghabiskan waktu selama lima musim di sana, ia pindah ke Juventus. Namun, di sinilah spesialnya pemain yang dikenal dengan rambut kuncir kuda ini. Ia tidak pernah dibenci tifosi La Viola kendati membelot ke musuh bebuyutan mereka.


Tidak ada fan yang membakar jersey atau merobohkan patung Baggio, seperti yang dilakukan para Viola kepada legenda sekaliber Gabriel Batistuta saat hengkang ke AS Roma. Mereka justru murka pada manajemen klub hingga membuat suasana kota mencekam selama tiga hari.


Ultras Fiorentina membuat kerusuhan dan mencari presiden klub mereka untuk meminta pertanggungjawaban atas dilepasnya Baggio ke Juventus. Mereka seakan tahu bahwa sang pemain tak pernah ingin pergi jika bukan karena kemauan direksi.


Klub yang memiliki warna kebesaran ungu itu memang menderita masalah keuangan pada 1989 silam hingga membutuhkan dana segar untuk menutupi masalah tersebut. Akhirnya, mereka melepas Baggio yang ditaksir Juventus senilai 7,75 juta euro. Angka ini sekaligus memecahkan rekor transfer termahal di Italia ketika itu.


Apa yang membuat fans Fiorentina tetap mencintai Baggio cukup beralasan.  Kendati hanya mencetak 55 gol dari 135 penampilan, mereka melihat sosok sang legenda lebih dari sekadar gol semata. Mereka berkeyakinan pemain kesayangannya itu selalu memberikan yang terbaik dalam keadaan apa pun.


Apalagi selama lima musim di sana ia lebih sering berkutat dengan cedera. Bahkan, musim 1986-1987 harus dihabisi Baggio di meja operasi karena menderita cedera lutut.  Cedera ini pula yang sempat membuatnya menyerah.


“Cedera itu membuat saya menyerah. Saya sempat berkata pada ibu saya agar membunuh saya saja ketika itu,” ungkap Baggio kepada Rai Sport terkait cedera panjangnya itu. Akan tetapi, akhirnya ia terus berjuang hingga mampu pulih.


Pada pekan terakhir Serie A musim tersebut ia berhasil pulih dan langsung diturunkan Fiorentina saat imbang 1-1 melawan Napoli. Di laga tersebut ia membuktikan comeback cepatnya lewat gol perdana untuk La Viola. Lebih istimewa lagi gol dari tendangan bebas itu sekaligus menyelamatkan klub dari jurang degradasi.


Tolak Penalti Sampai Memegang Syal Fiorentina

Performa terbaik Baggio bisa dikatakan saat berseragam Juventus. Ia mengoleksi 196 penampilan dengan torehan 109 gol. Di sini pula ia bergelimang gelar, termasuk memenangkan trofi Ballon d’Or pada 1993. Namun, deretan trofi tersebut belum mampu membuat Juventini mencintainya secara utuh.


Pasalnya, pemain yang mengawali kariernya bersama Vicenza itu masih terlalu mencintai Fiorentina. Bukti ini setidaknya terlihat jelas dalam dua momen tak terlupakan baik bagi Viola maupun Juventini. Kebencian fan kepadanya bermula pada 6 April 1991 saat Juve menghadapi Fiorentina di Firenze.


Butuh kemenangan untuk mendongkrak posisi ke papan atas, Juventus mendapat keuntungan ketika wasit memberikan hadiah penalti. Baggio yang biasanya menjadi eksekutor menolak tugas tersebut. Ia enggan menendang 12 pas karena tidak mau menyakiti hati fans tuan rumah.


Menariknya penalti yang akhirnya diambil De Agostini ini gagal berbuah gol dan membuat Si Nyonta Tua kalah 0-1. Hujatan kepada sang legenda tidak berhenti sampai di situ. Ketika ditarik keluar pada babak kedua, Baggio secara mengejutkan mengambil syal Fiorentina yang diberikan fan padanya.


Sontak saja momen ini jadi salah satu yang tak terlupakan pada tahun tersebut. Bagaiman tidak, ia memegang syal Fiorentina saat bermain untuk Juventus. Kejadian tidak umum ini pun kian memupuk kebencian dari Juventini.


Berselang beberapa hari kemudian, Ultras Juve langsung menyambangi tempat latihan pemain dan memprotes tindakan pemainnya itu. Mereka menuntut permintaan maaf dari pria yang kini berusia 52 tahun. Tapi kata maaf tidak pernah keluar dari mulutnya.



Terpuruk Karena Marcelo Lippi

Romantisme Baggio bersama Juventus semakin terasa hambar ketika klub dilatih Marcelo Lippi. Hal ini terjadi satu musim sebelum dirinya hengkang ke AC Milan. Kegagalannya mengeksekusi penalti di final Piala Dunia 1994 membuat kariernya makin hancur di tingkat klub.


Mentalnya yang hancur usai Piala Dunia 1994 makin tak karuan ketika mendapat diperlakukan tak layak oleh Lippi. Ia hanya diturunkan 17 kali oleh Lippi pada musim 1994-1995. Selain karena cedera, kehadiran sang rising star, Alessandro Del Piero, semakin membuatnya makin dekat dengan bangku cadangan.


Waktu satu musim dirasa cukup bagi Baggio untuk bermain di bawah komando Lippi. Ia memutuskan pindah ke Milan di akhir musim itu dan bertahan selama dua tahun. Tapi di kota mode dirinya gagal mengembalikan performa terbaik hingga akhirnya pindah ke Bologna pada 1997.


Di Bologna, ia menjelma jadi raja. Mengoleksi 23 gol dalam satu musim mengukuhkan statusnya sebagai top skor Serie A musim 1997-1998. Tidak hanya itu, catatan 23 gol ini sekaligus jadi yang tertinggi dibuat Baggio dalam semusim kompetisi.


Kembali garang bersama Rossoblu membuat Inter Milan kepincut meminang pria yang memeluk Buddha pada sejak 1987 tersebut. Tapi kesialan lagi-lagi menimpanya karena kembali dipertemukan dengan Lippi di kota mode.


Jika ditarik lebih jauh, Baggio memang punya masalah akut dengan beberapa pelatih. Ia kerap memberontak dengan kebijakan sang juru taktik di lapangan. Dengan alasan ini pula Giovanni Trapattoni tidak memanggilnya untuk memperkuat Italia di Piala Dunia 2002.

Anggapan Roberto Baggio yang selalu mengritik pelatihnya pun ia tuangkan ke dalam buku otobiografi berjudul ‘Una Porta Nel Cielo’. “Saya memang sering bertengkar dengan beberapa pelatih di klub dan tim nasional. Saya tidak tahu mengapa itu terjadi,” tulisnya dalam buku tersebut.


Kendati memiliki karier yang cukup berliku, pemain kelahiran 18 Februari 1967 ini menutup karier profesionalnya dengan kepala tegak pada 2004 silam. Namanya dielu-elukan seisi San Siro, baik dari fans Milan maupun Brescia, klub terakhirnya.





24 tampilan0 komentar

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page