top of page
Gambar penulisGoldenQQ

Review Film : The Irishman (2019), Dunia Gelap Para “Kriminal Kerah Putih”




GoldenQQ - Frank Sheeran, diperankan Robert De Niro, mendapati dirinya bekerja untuk keluarga Bufalino yang terkenal di kalangan kriminal kelas kakap. Veteran Perang Dunia II ini secara tak sengaja masuk ke dalam lingkaran yang membuatnya “mengecat rumah”. The Irishman diadaptasi dari buku nonfiksi I Heard You Paint Houses yang ditulis oleh Charles Brandt, mantan pengacara sekaligus jaksa penuntut Frank Sheeran, berdasarkan pengakuan Frank Sheeran.

Pada usia senjanya, di rumah jompo, Frank menceritakan keterlibatannya sebagai pembunuh bayaran untuk keluarga Bufalino. Dia juga mengakui keterlibatannya dalam menghilangnya Jimmy Hoffa pada 1975.


Membaca Memoar Kelam Pembunuh Bayaran


The Irishman membawa kisah hidup Frank Sheeran yang ketika menceritakan dosa masa lalunya, telah terlalu tua dan kesepian. Ada kesan nostalgia di sana, membuat kalian merasa dia cuma kakek tua yang lagi mengenang masa lalunya. Namun, bukan masa lalu yang biasa, dia adalah pembunuh bayaran yang banyak bekerja buat keluarga kriminal Amerika Serikat terkemuka, Bufalino.


The Irishman menunjukkan kekerasan dan dunia gelap para “kriminal kerah putih” yang anehnya digambarkan dengan sentuhan elegan dan lembut di beberapa bagian. Kalian enggak bakal diperlihatkan kekejaman psikopat di sini.


Bahkan, enggak diberikan kesempatan buat tahu alasan Frank jadi mesin pembunuh Bufalino, padahal sampai paruh baya hidupnya masih cuma seorang sopir truk. Banyak adegan yang mengganggu bukan karena darah yang berceceran di mana-mana, melainkan karena sikap para karakternya menanggapi peristiwa mengerikan yang mereka buat.


Ketiga karakter utamanya, penjahat kelas kakap yang lengan bajunya bersih dari dosa-dosa mereka, memiliki ikatan persaudaraan yang kental. Mereka saling membantu, selalu ada saat masa-masa sulit sekali pun. Namun, mereka juga yang mengakhiri semuanya sendiri. Maksudnya mengakhiri, itu berarti ada kematian di mana-mana, baik yang bisa kalian duga maupun enggak.


Karena melihat semuanya dari sudut pandang Frank, kalian enggak bakal merasa bersalah atau jijik dengan semua pembunuhan itu. Robert De Niro tentunya punya caranya sendiri buat bikin karakter Frank jadi simpatik, menyedihkan, sekaligus dingin.


Perubahan ekspresi sekecil apa pun mampu ditampilkan De Niro buat menunjukkan pergolakan batin Frank. Dia melakukan hal-hal mengerikan, dia lelah, tapi enggak bisa kembali atau menemukan pintu keluarnya sendiri.


Dia terjebak melakukan pembunuhan berulang-ulang, membuatnya berharga di mata para gangster, tapi tak berharga di mata keluarganya, khususnya anak perempuannya, Peggy. De Niro memperlihatkan seorang ayah yang mementingkan pekerjaannya lebih dari apa pun pada akhirnya ditinggalkan dan kesepian. Dan The Irishman menjadi memoar lengkap yang lebih manusiawi daripada tindakan orang-orang di dalamnya.


Lambat dan Hati-hati


Durasi 3 jam 29 menit mungkin masuk akal buat sebuah serial 8 episode. Namun, buat film feature, durasi ini jauh dari kata wajar, apalagi kalau film tersebut adalah drama yang pada dasarnya punya tendensi buat jadi membosankan.


Akan tetapi, justru durasi inilah yang dibutuhkan Scorsese buat bikin biopik yang enggak kehilangan satu detail kecil pun. Menyajikan kisah dari 1960-an sampai 1970-an, Scorsese butuh setiap elemen yang dipadukan sempurna: naskah yang kuat, aktor berkelas dengan jam terbang tinggi, dan efek CGI yang kalian mungkin enggak sadar bahwa teknologi itu dipakai di film ini.


Makanya, Scorsese juga bekerja sama dengan para aktor andalannya yang menjadi tiga sekawan dalam film ini, Robert De Niro, Al Pacino, dan Joe Pesci. Ketiganya menempel dengan karakternya masing-masing.


De Niro sebagai Frank yang lembut dan ramah tapi bisa bertindak kejam, Al Pacino sebagai Jimmy Hoffa yang temperamen dan berapi-api, serta Joe Pesci sebagai Russel Bufalino yang enggak banyak bicara tapi punya kuasa dan pengaruh kuat di Philadelphia. Ketiganya mampu menyajikan pertunjukan sempurna buat drama kriminal yang satu ini.


Scorsese enggak memberikan ruang buat kalian menyadari bahwa perjalanan Frank Sheeran bakal panjang banget. Pergerakan alurnya memang lambat, tapi kalian enggak bakal sadar seberapa banyak waktu yang udah dilalui sama Frank yang tersaji di film ini.

Sepanjang 40 tahun hidupnya dilalui dengan satu pembunuhan dan pembunuhan lainnya. Frank bahkan menyaksikan peristiwa-peristiwa besar pada masanya, mulai dari pemilihan umum yang melibatkan Jimmy Hoffa hingga pembunuhan presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy.


The Irishman bahkan punya waktu buat menyajikan family time Frank bersama Russ Bufalino maupun Jimmy Hoffa dengan efisien. Semua detail yang ada dibuka sedikit demi sedikit buat membangun kisah hidup yang tragis dan pilu.


Ada beban berat yang dipikul Frank, membuatnya harus berada dalam situasi yang mengharuskan dia memilih persahabatan atau pekerjaan. Namun, dia tetap harus memilih keputusan pahit dalam hidupnya. Dan demi tujuan ini, Scorsese dan berbagai detailnya berhasil membuatnya segalanya dramatis tanpa melebih-lebihkan.


Ibarat Wine, Semakin Lezat Seiring Usia


Scorsese memanggil kembali orang-orang yang telah beberapa kali bekerja sama dengannya dalam film ini. Semua demi menyajikan drama kriminal berkelas nan epik yang barangkali diimpikannya. The Irishman adalah keputusan berani. Ini bukan film yang serius banget dan bikin kalian berpikir keras cuma buat ngikutin jalan ceritanya.


Film ini juga bukan film drama komedi yang isinya satire. The Irishman Cuma sebuah pernyataan jujur seorang pembunuh bayaran yang menceritakan kisah hidupnya yang kelam.


Kalian bisa lihat bahwa film ini berpengalaman dengan caranya sendiri. Yap, bisa dibilang baik Scorsese maupun para aktornya, Al Pacino, Robert De Niro, dan Joe Pesci, bergerak dinamis buat menjadikan film ini karya brilian.


Bahkan dengan semua dialog panjang di dalamnya dan segala obrolan tentang politik, film ini sama sekali enggak membosankan. Scorsese di film ini kayak seorang yang punya instrumen terbaik dalam orkes simfoninya, yaitu para aktor kece dengan naskah terbaik sebagai alat musiknya. Rasanya, The Irishman layak banget masuk layar lebar dan bersanding buat jadi Best Picture di Oscar nantinya.







14 tampilan0 komentar

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page