GoldenQQ - Menghadirkan kembali Danny Torrence (Ewan McGregor) dan teror Overlook Hotel, apakah Doctor Sleep layak jadi pengobat penantian lebih dari 30 tahun atas sekuel The Shining? Atau justru sebaiknya The Shining bersinar sendiri aja, tanpa perlu diikuti Doctor Sleep?
Sebelum mulai bahas ceritanya, ulasan ini bakal cukup banyak membandingkan Doctor Sleep sama The Shining. Jadi, kalau kalian enggak mau kena double spoiler, Disarankan kalian nonton dulu The Shining di Netflix.
Sekuel yang Magis
Mike Flanagan enggak seambisius Stanley Kubrick yang sejak awal film langsung membawa kalian merasakan kontras dalam teror yang bakal dihadirkan melalui soundtrack mencekam. Doctor Sleep justru mencoba efisien, langsung menghadirkan sumber konflik nantinya.
Sejak dibuka, Mike Flanagan tahu bahwa bakal sulit melepaskan Doctor Sleep dari The Shining. Makanya, dia mengambil posisi bercerita yang pasif, dengan pergerakan kamera yang stabil.
Doctor Sleep justru hadir sebagai film dengan kisah yang magis. Hal-hal supranatural ditampilkan dengan mengerikan. Akan tetapi, niat tutup mata, kalian malah bakal merasakan dorongan aneh buat mengikuti kengerian itu sampai habis. Terornya klasik, kengeriannya asyik.
Penggambaran isi kepala orang-orang yang “bersinar”, semuanya ditampilkan dengan indah. Bukan termasuk melebihkan, film ini magis dan dreamy pada waktu yang bersamaan.
Wajar aja, toh, memang Doctor Sleep berurusan dengan hal-hal yang berada di luar nalar manusia. Justru, dengan sejak awal menghadirkan unsur-unsur magisnya, Doctor Sleep cukup berhasil jadi sekuel yang berdiri sendiri.
Masih Melekat sama The Shining
Meski begitu, memang patut diakui bahwa Doctor Sleep enggak bisa lepas dari The Shining. Terbukti, ketika Dan Torrance harus kembali ke Overlook Hotel, Flanagan masih mempertahankan identitas The Shining dalam filmnya. Namun, langkah ini justru tepat karena membangkitkan nostalgia dan suasana mencekam ala The Shining yang tipikal banget.
Di sisi lain, hal ini juga jadi kekurangan karena, bukannya mencoba menghidupkan kisah Stephen King kembali, Flanagan malah terjebak sama gayanya Kubrick yang, meski mendapat banyak pujian, enggak disukai sama King.
Yap, bukan rahasia lagi Stephen King benci The Shining-nya Stanley Kubrick. Dan memang jadi tantangan terbesar bahwa Flanagan harus bisa menghidupkan kembali imajinasi King dalam film ketika pada waktu yang sama juga berada dalam semesta yang sama dengan filmnya Kubrick.
Flanagan berhasil meyakinkan Stephen King, tapi benarkan dia berhasil membawa Doctor Sleep yang enggak bergaya Kubrick? Atau, malah Flanagan berhasil membawa Doctor Sleep jadi win-win-solution buat penggemar The Shining sekaligus juga buat Stephen King?
Punya Pendekatan Beda
Jawabannya, Doctor Sleep berhasil dalam usahanya keluar dari pendekatan Kubrick akan film horor. Sejak awal, Doctor Sleep memang enggak mau terlalu main-main sama jumpscare. Film ini justru bermain sama tragedi, sebagaimana yang diinginkan King sedari dulu.
Danny dewasa adalah sosok yang enggak bisa lari dari trauma masa lalunya. Punya ayah seorang pencandu alkohol memang bukan hal baik. Akan tetapi, Dan juga enggak mau terjebak jadi semakin mirip ayahnya, Jack Torrance. Membangun sisi humanis ini, Ewan McGregor berhasil membawakan karakter yang bikin simpati.
Dalam film ini kalian juga bakal merasakan bahwa banyak hal berubah. Orang-orang dengan kekuatan supranatural enggak lagi “bersinar”. Makanya, Doctor Sleep juga enggak mau terlalu gloomy dan menggunakan scoring yang mengagetkan buat nakutin kalian.
Bahkan, hantu bukan lagi hal yang paling menakutkan dalam sekuel ini. Keberadaan orang-orang jahat yang makan “sinar” anak-anak berkemampuan khususlah yang jadi ancaman.
Rebecca Fergusson sebagai Rose the Hat berhasil jadi villain utama yang menarik sekaligus mengancam. Hal ini bikin Doctor Sleep punya formula film superhero, dengan villain berupa orang atau kelompok yang jadi sumber utama konflik, dan para antagonisnya berjuang bersama demi mengalahkan villain tersebut.
Meski pada akhirnya Doctor Sleep tetap enggak bisa lepas dari The Shining-nya Kubrick, usahanya pada ¾ pertama film telah berhasil.
Kayak Naik Roller Coaster
Yap, bisa dibilang, inilah yang dirasakan saat nonton Doctor Sleep dengan durasinya yang mencapai 2 jam 30 menit. Jangan dulu berprasangka kalian bakal ngantuk dan bosan. Enggak. Kalian malah enggak bakal dikasih kesempatan buat menghela napas lega.
Memang, sih, alur film ini berjalan cukup lambat di awal karena kayaknya tempo ceritanya pun masih enggak bisa lepas dari The Shining. Akan tetapi, mulai pertengahan film, kalian bakal dikasih ketegangan yang baru.
FYI, Mike Flanagan sebelumnya udah terbukti mampu menghidupkan tontonan horor dengan nuansa baru di The Haunting of Hill House. Mike udah enggak lagi main-main sama ketegangan yang dibantu jumpscare, melainkan lebih banyak menggodok hubungan antarkarakter, hubungan karakter dengan masa lalunya, dan cara karakter tersebut dengan masalah yang dihadapinya. Nah, itulah yang ditonjolkan juga dalam Doctor Sleep.
Bukan karena ada hantu, iblis, atau orang kesurupan. Bukan juga karena ada pembunuh berdarah dingin yang berkeliaran. Doctor Sleep justru kembali ke akarnya horor klasik yang tahu bagaimana menampilkan ketakutan terbesar manusia, sekaligus menempatkan jumpscare yang tepat guna.
Nonton Doctor Sleep rasanya kayak nonton salah satu episode Twilight Zone. Di satu sisi terasa magis, di sisi satunya terlihat kelam, di sisi lainnya indah karena pendekatan imajinatif yang mempermainkan pikiran.
Sambil melepas teror, Doctor Sleep juga terasa menyenangkan. Enggak ada tekanan, cuma letupan perasaan yang lepas selama nonton film ini, entah itu takut atau pun lega karena teror udah berakhir.
Jadi, rasanya kayak naik roller coaster dengan trek yang panjang. Awalnya lambat, datar, tapi semakin lama semakin cepat, naik-turun, tiba-tiba belok, bikin shock karena ada tanjakan tinggi, terus terjun bebas, barulah melambat karena mulai kelihatan akhirnya.
Comments